Perdagangan Manusia
Beberapa faktor tertentu
dapat mendorong seseorang untuk melakukan situasi psikologis inilah yang dapat
menjadi salah satu penyebabnya. Penyebab-penyebab inilah yang yang mendorong
pihak-pihak tertentu sehingga terjadilah perdagangan manusia. Istilah yang kemudian
diserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan kata trafiking ini, sampai saat ini
belum mendapat perhatian yang intensif dari pihak-pihak terkait, misalnya
aparat penegak hukum dan pemerintah Republik Indonesia. Jadi, sangat tidak
mengherankan jika para korban trafiking terus berjatuhan. Bahkan pada faktanya,
rentetan korban kemungkinan besar bertambah apabila tidak ditangani dengan
serius.
Trafiking dapat terjadi
karena berbagai macam faktor, kondisi, pemicu, serta persoalan yang
berbeda-beda. Faktor pertama yang mempengaruhi hal ini adalah kurangnya
kesadaran masyarakat itu sendiri terhadap bahaya trafiking. Kesadaran ini tidak
hanya didapatkan dari mereka yang telah menjadi korban perdagangan manusia,
kesadaran mengenai trafiking seharusnya juga didapatkan dari mereka yang
menjalankan atau terlibat langsung dalam kegiatan perdagangan manusia.
Kurangnya perhatian mengenai trafficking dapat disebabkan karena kurangnya
kewaspadaan dan kurangnya informasi. Selain itu, pengetahuan yang terbatas
mengenai motif-motif dari perdagangan manusia juga menjadi salah satu penyebab
kurangnya perhatian mengenai trafficking.
Faktor kedua adalah
faktor ekonomi. Permasalahan ini sering sekali menjadi pemicu utama terjadinya
kasus perdagangan manusia. Tanggung jawab yang besar untuk menopang hidup
keluarga, keperluan yang tidak sedikit sehingga membutuhkan uang yang tidak
sedikit pula, kelilit hutang yang sangat besar, dan motif-motif lainnya yang
dapat memicu terjadinya tindakan perdagangan manusia. Tidak hanya itu, hasrat
ingin cepat kaya juga mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut.
Faktor ketiga adalah
kebudayaan masyarakat setempat. Memang tidak secara gamblang terlihat bukti
mengenai tindakan perdagangan manusia. Namun pada kebudayaan masyarakat
tertentu, terdapat suatu kebiasaan yang menjurus pada tindakan perdagangan
manusia. Sebagai contoh, dalam hierarki kehidupan pada hampir semua kebudayaan,
memang sudah kodrat perempuan untuk tidak mengejar karir. Mereka “ditakdirkan”
untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak, serta bersolek. Kalau memang
diperlukan perempuan bertugas untuk mencari nafkah tambahan bagi keluarganya.
Sedangkan laki-laki dalam hierarki kehidupan pada mayoritas kebudayaan,
berfungsi sebagai pencari nafkah, dan juga pemimpin setidaknya bagi keluarganya
sendiri. Namun pada kenyataannya, tidak semua keluarga tercukupi kebutuhannya
hanya dari pendapatan utama, yaitu pendapatan laki-laki. Tidak semua dapat
sejahtera hanya dengan satu sumber penghasilan. Biasanya, hal inilah yang
mendorong kaum perempuan untuk tetap melangsungkan kehidupan keluarga mereka
sehingga mereka melakukan migrasi dengan menjadi tenaga kerja.
Contoh lainnya, seorang
anak mempunyai peran dalam sebuah keluarga. Kepatuhan terhadap orangtua, rasa tanggung
jawab terhadap masa depan orangtua mereka, atau situasi ekonomi keluarga yang
jauh dari cukup terkadang memaksa anak-anak ini untuk bekerja. Terkadang hanya
bekerja di sekitar lingkungan. Namun tidak sedikit juga yang melakukan migrasi
untuk mendapatkan uang.
Contoh terakhir adalah
kasus pernikahan dini. Pernikahan dini mempunyai dampak yang serius bagi
pelakunya, terlebih bagi kaum perempuan. Mereka tidak hanya diintai oleh bahaya
kesehatan, namun juga kesempatan menempuh pendidikan yang juga semakin menjadi
terbatas bagi mereka. Hal itu berdampak pula pada kesempatan kerja yang
terbatas sehingga situasi ekonomi mereka semakin terjepit. Pernikahan dini juga
menghambat perkembangan psikologis pelakunya, sehingga hal ini menimbulkan
gangguan perkembangan pribadi, rusaknya hubungan dengan pasangan. Bahkan tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi pula perceraian dini. Pada perempuan, apabila
mereka sudah menikah sudah dianggap sebagai wanita dewasa. Apabila
sewaktu-waktu mereka bercerai, mereka tetap dianggap sudah dewasa. Mereka
inilah yang rentan menjadi korban tindakan perdagangan manusia yang dapat
disebabkan karena kerapuhan ekonomi, emosi yang masih labil, dan lain-lain.
Faktor selanjutnya adalah
pengetahuan masyarakat yang terbatas. Orang dengan tingkat pendidikan yang
rendah memiliki lebih sedikit keahlian daripada orang dengan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan kesempatan kerja yang semakin sedikit
sehingga akan sangat sulit untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Dengan
iming-iming bisa cepat kaya, orang-orang dengan situasi seperti ini dapat mudah
untuk direkrut dan dapat menjadi korban perdagangan manusia.
Faktor keenam adalah
kurangnya pencatatan / dokumentasi. Dokumentasi ini meliputi akta kelahiran
atau surat keterangan kelahiran. Karena hal ini sangat minim dilakukan, maka
akan sangat mudah untuk melakukan pemalsuan identitas. Sampai saat ini, masih
banyak orangtua yang tidak mencatatkan kelahiran anaknya di kantor catatan
sipil. Para orangtua melakukan hal tersebut karena mereka menganggap bahwa
untuk mencatatkan kelahiran anak-anak mereka dibutuhkan sejumlah uang yang
besar. Akibat yang ditimbulkan dari hal ini adalah anak-anak tersebut tidak
akan tercatat oleh negara. Apabila sewaktu-waktu mereka menjadi korban
perdagangan manusia, mereka akan sangat sulit untuk mendapatkan bantuan dari
pihak terkait.
Faktor terakhir adalah
lemahnya aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan penjagaan
terhadap indikasi terjadinya kasus perdagangan manusia. Sampai saat ini, para
pelaku kasus perdagangan manusia masih dapat bebas berkeliaran tanpa adanya
pengawasan yang ketat dari aparat penegak hukum. Hal inilah yang membuat kasus
perdagangan manusia seolah-olah dihalalkan dan tidak ada titik terang mengenai
penyelesaiannya.
Akibat Perdagangan Manusia
Para korban perdagangan
manusia mengalami banyak hal yang sangat mengerikan. Perdagangan manusia
menimbulkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para
korban. Tidak jarang, dampak negatif hal ini meninggalkan pengaruh yang
permanen bagi para korban. Dari segi fisik, korban perdagangan manusia sering
sekali terjangkit penyakit. Selain karena stress, mereka dapat terjangkit
penyakit karena situasi hidup serta pekerjaan yang mempunyai dampak besar terhadap
kesehatan. Tidak hanya penyakit, pada korban anak-anak seringkali mengalami
pertumbuhan yang terhambat.
Sebagai contoh, para
korban yang dipaksa dalam perbudakan seksual seringkali dibius dengan
obat-obatan dan mengalami kekerasan yang luar biasa. Para korban yang
diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera fisik akibat
kegiatan seksual atas dasar paksaan, serta hubungan seks yang belum waktunya
bagi korban anak-anak. Akibat dari perbudakan seks ini adalah mereka menderita
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, termasuk
diantaranya adalah HIV / AIDS. Beberapa korban juga menderita cedera permanen
pada organ reproduksi mereka.
Dari segi psikis,
mayoritas para korban mengalami stress dan depresi akibat apa yang mereka
alami. Seringkali para korban perdagangan manusia mengasingkan diri dari
kehidupan sosial. Bahkan, apabila sudah sangat parah, mereka juga cenderung
untuk mengasingkan diri dari keluarga. Para korban seringkali kehilangan
kesempatan untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Sebagai
bahan perbandingan, para korban eksploitasi seksual mengalami luka psikis yang
hebat akibat perlakuan orang lain terhadap mereka, dan juga akibat luka fisik
serta penyakit yang dialaminya. Hampir sebagian besar korban “diperdagangkan”
di lokasi yang berbeda bahasa dan budaya dengan mereka. Hal itu mengakibatkan
cedera psikologis yang semakin bertambah karena isolasi dan dominasi.
Ironisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang sangat buruk serta
terampasnya hak-hak mereka dimanfaatkan oleh “penjual” mereka untuk menjebak
para korban agar terus bekerja. Mereka juga memberi harapan kosong kepada para
korban untuk bisa bebas dari jeratan perbudakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar